bojonegorokab.go.id - Novel ‘Pulang Ke Desa’ sudah diluncurkan akhir 2019 lalu. Novel dengan tema desa dan konflik migas tersebut banyak diapresiasi pembaca. Selain ketebalannya yang 500 halaman lebih, tema yang diangkat cocok dengan kondisi Bojonegoro yang kaya akan sumber minyak dan gas bumi (migas). Penulisnya adalah Didik Wahyudi mantan jurnalis yang kini bergelut di dunia pendampingan desa. Saya berbincang santai dengannya di satu kedai kopi di seputar kota Bojonegoro. Tapi di kedai itu, kami tidak memesan kopi, melainkan wedang tape panas yang menjadi salah satu menu andalannya. “Tokoh novel adalah mahasiswa yang baru lulus kuliah. Dia memutuskan kembali ke desa. Di dalamnya ada kisah cinta, kisah tembakau, juga ada kisah-kisah tentang dunia peternakan, hutan, dan hal-hal yang erat kaitannya dengan masyarakat desa. Tak ketinggalan soal bisnis,” kata Didik sambil menunjukkan novel tersebut. Novel Pulang Ke Desa mulai ditulis pada 2012. Waktu itu, kata dia, ia hanya mampu menyelesaikan tiga bab saja. Karena kesibukannya di dunia jurnalis televisi membuatnya harus berbagi waktu. Jurnalis televisi ternyata banyak menyita waktu dan konsentrasinya, sehingga tahun 2013 naskah novel tak kunjung dipegangnya lagi. Hingga akhirnya, pada tahun 2014, arah hidupnya mulai berubah. Ia tak lagi menjadi jurnalis televisi setelah terkena PHK massal oleh perusahaan tempatnya bekerja. Padahal, ia sudah 9 tahun bekerja di JTV, sebuah televisi lokal satu grup dengan surat kabar Jawa Pos yang berkantor di Graha Pena Surabaya. Tapi, ‘pemberhentian’ dirinya dari pekerjaan yang digelutinya cukup lama tersebut ternyata malah membawa berkah. Naskah novelnya yang lama terbengkalai, kemudian dipegangnya lagi. Didik mulai konsentrasi melanjutkan menulis dan menyelesaikan novelnya hingga menjadi 15 bab pada 2015. Meski usai di-PHK terkesan punya waktu banyak, ternyata menyelesaikan novel tak semudah yang dibayangkan. Tapi, Didik punya trik untuk bisa konsentrasi menyelesaikan naskah novelnya. “Waktu menyelesaikan tulisan, saya sengaja membuat jadwal ketat. Saya berangkat dari rumah di Kalianyar (Kecamatan Kapas, red) menuju ke kos di seputar kota Bojonegoro. Persis seperti orang kantoran. Jam 9 berangkat, sore pulang,” tuturnya. Di sela-sela proses itu, ia terus mencari tambahan bahan novel. Bahan itu diperolehnya dari cerita teman, data lapangan, dan sumber lain. Waktu itu, kata dia, dapat data menarik dari orang yang pernah kerja di dunia migas dan berkonflik. Hingga akhirnya tahun 2015, novel benar-benar rampung. Tapi sengaja tidak langsung diterbitkan jadi buku. Karena ada satu alasan yang baginya penting, hingga penerbitan buku sengaja ditunda. Apa itu? “Sesuatu alasan yang sulit saya utarakan. Tapi yang pasti sudah ada keinginan menerbitkan jadi buku waktu itu,” terangnya. Didik menjelaskan, setting novel memang tidak di Bojonegoro, tapi data-data banyak berasal dari Bojonegoro. “Dan karena ini fiksi, ya bebas saja merangkai kisah dan tempat. Jadi tidak perlu dipusingkan,” tuturnya. Salah satu inspirasi dalam menulis novel ini, kata dia, adalah temannya yang meninggal karena sakit usai operasi. Ia teman dekat dan sering tentang kisah cintanya. Selain itu juga cerita tentang konflik-konflik modal di dunia migas juga dimasukkan. Kalau tafsir saya serahkan ke pembaca. Yang pasti, migas banyak konflik dan mempunyai lika-liku sebelum tahap eksploitasi. “Ini bukan soal pro atau kontra migas, tapi ingin menunjukkan kompleksitas masalah yang disajikan dengan data, meski dalam bentuk novel,” tegasnya. Lalu kenapa tebal? “Saya merasakan ketebalan itu tuntas seperti apa yang saya pikirkan,” katanya. Novel ini memang menjadi karya pertamanya. Tapi bukan berarti Didik belum pernah menulis karya fiksi. Sebelumnya tulisannya masuk di kumpulan cerpen Akademi Kesenian Yogyakarta (AKY) tahun 2015 dan antologi pusi bareng penulis-penulis Bojonegoro berjudul ‘Jagad Daun Djati’. Ada sharing untuk penulis pemula? “Bagi saya menulis itu bagaimana membiasakan diri, memaksakan diri menulis apapun itu. Mungkin bisa diary. Harus mendisiplinkan diri sendiri menulis. Karena menulis itu tanpa guru bisa. Salah satunya dengan membiasakan membaca dan menulis. Jadi tanpa guru (orang) kita bisa menulis. Karena menulis itu soal kebiasaan,” katanya. (Nng/Kominfo)
Sangat Puas
80 % |
Puas
5 % |
Cukup Puas
0 % |
Tidak Puas
14 % |